CERITA KEABADIAN - FIKSIMINI #2
Aku terkurung oleh tembok batu yang besar dan tebal. Lama, cukup lama aku menjalani hari-hari dengan keadaan seperti ini, kesal. Berkali-kali kucoba hancurkan hingga pegal. Namun, tak bisa, malah semakin bebal. Entahlah ....
Pesimis, apatis, flegmatis. Bertahun-tahun kucari kaum kerabat agar selalu optimis. Kucari ia agar bisa membantu, manis. Namun, entahlah lagi, ia sulit kutemukan karena mungkin tak sepaham, tragis.
Kulihat luaran sana begitu alami. Ingin segera aku keluar dari kurungan ini. Merasakan segarnya udara yang dibawa oleh Sang Dewi. Lalu ..., berapa lama lagi aku harus menunggu kerabat yang sudi membantu atau menasihati? Satu abad[i]?
Ah, aku harus segera beranjak walau terpaksa sendiri. Aku tak mau lama menunggu ketidakpastian ini. Aku harus bangkit dan berusaha meruntuhkan tembok batu ini. Setebal apapun ia, harus kuhancurkan lagi.
Kini, kubobrok tembok sendirian. Berat, padat, kupahat dengan tanpa ampunan. Ia pun luluh lantak perlahan-lahan. Kulihat serpihan batu memenuhi lapangan di sekitarku. Kubobrokan lagi dan lagi hingga hampir kaku tanganku. Wah ..., ada guguran Bugenvil ternyata. Kehidupan yang asri sepertinya mulai nyata.
Warna-warni kehidupan mulai terlihat, teraba. Warna merah, warna putih, kedamaian mulai terasa, keseimbangan mulai ada. Warna-warna terang yang tumbuh di antara warna-warna gelap. Tak sabar ingin kutemukan hal baru, kehidupan baru, dan tidur lelap.
Akhirnya, aku bisa berjalan di atas tanah yang belum pernah ditapaki manusia mana pun. Bahkan, kaum kerabat belum jua sekali pun. Hmm ..., udara segar begitu terasa, alami. Aroma bunga-bunga kehidupan kuhirup tanpa henti. Nikmat, hilanglah penat.
Kebahagiaan, kepastian, kenyataan kini yang abadi. Kehidupan kekal ini kudapati dengan keinginan sendiri. Bukanlah Dewi yang mendekati, tetapi diri yang harus mencari. Berusaha dengan pasti dan yakin ini bakal terjadi. Namun, kita sebagai yang mengalami, tak boleh lupa untuk berbagi. Bahagia sekali kalau hidup bisa didampingi kaum kerabat yang saling mengasihi.